Merdeka dari Suaka Margasatwa
bebas dari segala tumpukan limbah sisa amarah akibat seringkali tersisihkan, dimana Sabtu menyebutku lugu dan Minggu tak lagi mengejekku yang selalu dibersamai Danilla. tak ada lagi rima distraksi yang membuat pensilku patah, karena tak lagi mampu membendung air bah dalam dada. takkan ada lagi aku di palang pintu Djuanda yang menyenandungimu Tuan Kelana (maaf Silampukau, kuubah sedikit judul lagumu).
lebih baik aku kafir dengan cara ini, bersama orang ini, daripada jadi sholeh bersamamu. lebih baik aku jadi manusia berkapasitas otak rendah namun apa adanya daripada menjadi manusia sok pintar karena tak ingin kalah dari insekuritas pribadi milik bedebah cilik satu itu. lebih baik pula aku celaka di jalanan, “tabrak saja sampai meninggal” kata kawanku waktu itu, daripada indah tapi merana di kamar indekostmu yang menyesakkan. walau sebenarnya aku sangat ingin menggilasnya sampai mati.
aku menjelma vrijeman yang agung!
jadi orang jangan terlalu menjiwai, kataku dalam hati. sebab caramu busuk, sungguh busuk. aku pun setengah bergidik saat me-reka ulang kilas balik yang telah lalu. malah pernah sekali waktu, hampir kubawa diriku sendiri ke Menur karena kengerian yang masih membenalu. untung saja masih tersisa-ku yang separuh waras, meskipun sudah dilekati borok-borok hitam yang sudah jadi cacat.
kubuka peta dan kubentangkan lebar-lebar seluas dua hasta, mencari koordinat dari sebuah wujud 'rumah' yang rasa-rasanya seperti fatamorgana. orang-orang selalu membercandai Dora, tapi anak perempuan itu sama sepertiku; perlu berkali-kali diingatkan kembali untuk tak pernah lelah mencari.
sumpah aku ingin rumah untuk pulang. lalu ia hadir sendiri padaku, tanpa terkecuali. sumpah! sumpah demi Allah! sekali lagi, aku manifestasi dari vrijeman yang agung!